Sunday, May 25, 2014

Adakah Masa Depan yang Cerah Di Tiongkok?

Minggu ini Tiongkok mengeluarkan dua keputusan penting yang merupakan bagian dari sebuah legislasi untuk melindungi lingkungan dan ekosistem yang ada. Setelah bertahun-tahun mendapat kritik dari komunitas internasional (meskipun kadang terasa tidak adil mengingat catatan buruk yang juga dimiliki oleh negara-negara lain), Tiongkok akhirnya menanggapi dan mulai menetapkan perubahan-perubahan penting.



Bagian pertama dari legislasi ini adalah perubahan pada undang-undang lingkungan dengan memberi hukuman berat kepada perusahaan-perusahaan penghasil polusi. Nama perusahaan penghasil polusi juga akan diumumkan untuk memberi efek jera dan individu yang bertanggung jawab untuk polusi dapat menghadapi hukuman hingga lima belas hari penjara. Yang terpenting adalah batasan hukum yang ditempatkan untuk denda bagi penghasil polusi, sehingga kemungkinan besar meniadakan masalah ‘eksternal’ yang biasa dihadapi oleh undang-undang lingkungan. Di banyak negara termasuk Tiongkok sebelum revisi ini, denda terhadap polusi lingkungan sangat kecil sehingga lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk tetap menghasilkan polusi lalu membayar denda dan menganggapnya sebagai biaya bisnis. Namun, dengan dihilangkannya batasan denda pada legislasi baru Tiongkok, maka aktivitas polusi dapat dibuat tidak menguntungkan. Kini semuanya ada di tangan politisi Tiongkok untuk mengesahkan legislasi ini.

Bagian kedua dari legislasi ini berkaitan dengan kebiasaan Tiongkok dalam menggunakan spesies terancam dalam makanan dan obat-obatan mereka. Hal ini adalah salah satu dari budaya Tiongkok yang telah lama menjadi sorotan dunia. Target dari undang-undang yang baru adalah memberi ancaman hukuman penjara hingga sepuluh tahun bagi siapa saja yang secara sengaja mengonsumsi produk yang dibuat dari spesies terancam. Mengingat pasar obat-obatan Tiongkok adalah salah satu penggerak perdagangan spesies terancam, maka undang-undang ini dapat memiliki dampak yang positif terhadap ekosistem di seluruh dunia. Tentu saja semua itu kembali bergantung pada ketegasan para politisi untuk menegakkan undang-undang ini.

Kita masih harus menunggu untuk melihat undang-undang ini dijalankan. Namun setidaknya ini adalah langkah pertama ke arah yang tepat. Negara-negara barat selama beberapa tahun belakangan ini, telah menganut paham laissez-faire (tidak ikut campur) terhadap undang-undang lingkungan setelah mengalami resesi. Pemerintah konservatif bahkan melihatnya sebagai ‘pita merah’ dan mengancam untuk mengurangi kekuatan undang-undang lingkungan demi membantu rekan-rekan bisnis mereka. Pada saat yang sama, Tiongkok, sebuah negara yang biasanya memiliki catatan lingkungan yang buruk, dan kerap dianjurkan untuk membuat perubahan dan mengambil peranan dalam perubahan iklim global, kini memberi contoh untuk diikuti negara-negara maju dan berkembang lain.

Di negara-negara barat ada ideologi bahwa perubahan lingkungan dapat dicapai tanpa sebuah perubahan sistematis, melainkan cukup melalui kegiatan dan pilihan pribadi. Jika kita dapat meyakinkan beberapa orang untuk membuat pilihan pribadi yang tepat, secara kolektif kita melindungi lingkungan. Itu merupakan pendekatan yang salah mengingat polusi yang ada kebanyakan dihasilkan oleh tekanan sistematis dari sistem kapitalis untuk menghasilkan keuntungan. Maka satu-satunya cara kita dapat benar-benar melindungi lingkungan adalah melalui tindakan tegas pemerintah dan perundang-undangan yang memberi hukuman yang berat sehingga memaksa penghasil polusi untuk mencari cara lain. Tiongkok mulai melakukan hal tersebut. Akankah dunia mengikuti contoh ini?


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 15.05.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/05/a-brighter-future-in-china.html

[ melindungi lingkungan dan ekosistem, komunitas internasional, perubahan pada undang-undang lingkungan, polusi lingkungan ]

Thursday, May 22, 2014

教育、经济,还是剥削?


纽约时报》最近报导了英国大学正面临的大问题——多年来,学生人数首次出现了下降。这种现象出现的原因并不在英国的本国学生,他们仍然用9000英镑的贷款支付着每年的学费,人们也反复向他们强调要找到工作,就需要获得文凭(然后他们会在毕业时,发现不管怎样也没有工作机会)。造成学生减少的原因更多在外国学生身上,他们开始摈弃英国的教育体系,这在大部分学生都是外国人的一年制硕士学位课程方面尤其明显。


这让英国的大学非常担忧,因为这些外国留学生为进入英国学校所支付的费用,要比本国学生高得多。当然,这可能就是最直接的问题所在了——对外国留学生来说,需要支付的学费本来已经高出许多,而自从英国政府取消大学收费上限之后,外国留学生的学费在过去五年又出现了快速增长。虽然对英国本国学生而言,情况正在变遭,但请不要忘记,来自英联邦和中国等新兴国家的外国留学生,长期以来都充当着受英国大学体系剥削的摇钱树——他们需要为不完整且没有充足资金的课程支付昂贵的费用,以换取留学英国魅力,他们甚至不能和英国学生一样,享受学生贷款制度提供的安全保障。

不管是对英国本国学生还是外国留学生来说,最近出现的学费上涨都是新自由主义项目的一部分,意在将教育纳入资本主义经济体系,而在某种程度上,教育曾成功地抵御过这种体系的入侵。如今,英国(及其他国家)的教育被人们当做一种产业,而不是对知识的追求——人们会为专注于有利可图的主题的院系注入资金(商业、化学、物理等),而其他院系则被视为在现代社会中毫无用处,因此面临着大幅资金被削减(英语、历史、哲学等)。同时,学生们也形成了这样的看法,他们将大学视为只有有钱人或愿意承担债务的人才能进行投资结果,他们的期望也发生了改变——每个讲师都有许多故事,讲诉那些无论提交什么都希望获得高分的学生,他们会因为我们付钱了

纽约时报》避而未谈的是,可能有越来越多的外国留学生意识到了,只有在那些经济学公式中,英国的大学才会看到他们的重要性。他们的希望、梦想和将来什么都不是——大学只把他们看成是资产负债表中有用的数字,只有在他们如此有规律地从负债表中消失的时候,他们才能得到关注。在下降的学生人数中,我希望至少有部分是因为意识到了如今的英国教育体系只是一个产业,而它的基础就是对学生的剥削(另外,在许多情况下,还有他们领取微薄薪水的教授和讲师)。

是时候改变大学体系了,希望学生人数的减少会是改变的第一步。我们需要鼓励单纯为了学习的乐趣而学习的人,而停止计算每件事的经济效益,也不要让学生认为世界就是自己和其他人无止尽的竞争。此外,我们还需要帮助世界各地的穷人,让他们能进入大学,充实自己,实现他们自己的目标——而不只是为了填满大学的银行账户。


从英文版翻而来。原文于 428, http://annie65j.blogspot.com/2014/04/education-economics-or-exploitation.html

[ 纽约时报, 英国大学, 贷款支付着每年的学费, 英国的教育体系,The New York Times ]

Thursday, May 15, 2014

A brighter future in China?

This week has seen two important announcements from China – both of them pieces of legislation that are designed to protect the environment and the ecosystems that thrive in it. It seems that after many years of being criticized by the international community (sometimes unfairly, considering the record of many other countries on these issues), China is finally taking notice and starting to implement some serious changes.
The first piece of legislation is a revision of the country’s environmental law to impose harsh penalties on heavy polluters. Companies will also be ‘named and shamed’ for their activities, and individuals who are found to be responsible for a company’s polluting actions face the possibility of up to fifteen days in prison. Most importantly, there is no legal limit placed on the size of the fines that can be handed out to polluters, thus potentially negating the ‘externality’ problem that environmental laws often face. In many countries, including China before this revision, the fines for environmental pollution are so small that it is often more profitable to simply pollute and accept the fine as a standard cost of business. The lack of an upper limit on fines in the new Chinese legislation means that pollution can finally be made decisively unprofitable. Now all that remains is for Chinese politicians to actually follow through with this threat.
The second piece of legislation regards the Chinese practice of using endangered species in food and medicine. This has long been a problem that the rest of the world has bemoaned in Chinese culture, and the new law aims to address it by threatening jail sentences of up ten years for anyone who knowingly consumes a product made from endangered species. Considering the Chinese medicine market remains one of the main drivers for the trade in endangered animals, this law could potentially have a huge contribution to ecosystems around the world – but again, only if the politicians actually have the strength of will to enforce it properly.
While it remains to be seen how these laws work in practice, we can say that they are certainly a step in the right direction. Over the past few years, and partially in response to the recession, Western countries have become increasingly laissez-faire about environmental laws, with many conservative governments seeing them as ‘red tape’ and threatening to cut down on them in order to help their friends who own businesses. At the same time, China, a country which has traditionally been considered to have a very poor environmental record, and which has often been encouraged to ‘step up’ and play its part in global climate change talks, has begun to set an example for other countries to follow – whether developed or developing.
In the west there is a strong ideology that environmental change can come about without a systemic change – it can come merely from personal actions and individual choices. If we convince enough people to make the right personal choice, we will collectively protect our environment. This is a ridiculous way of looking at the situation, considering much of our pollution comes from systemic capitalist pressure to create profit – consequently, the only way we will really protect the environment is through strong government action and legislation that forces polluters to find other ways to act by imposing harsh penalties on them. China is beginning to do that – will the rest of the world follow their example?
capitalist pressure, Chinese culture, Chinese medicine market, Chinese politicians, conservative governments, contribution to ecosystems, create profit, endangered animals, endangered species, environmental change, environmental law, fines for environmental pollution, global climate change, government action, heavy polluters, impose harsh penalties, international community, jail sentences, new Chinese legislation, poor environmental record, protect environment, red tape, response to the recession, step in right direction, systemic change, Western countries laissez-faire

Sunday, May 4, 2014

Pendidikan, Perekonomian, atau Eksploitasi?

Untuk pertama kalinya universitas-universitas di Inggris mengalami penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa baru seperti yang dilansir dalam surat kabar New York Times baru-baru ini. Hal ini bukan terjadi pada kalangan mahasiswa asal Inggris yang masih memanfaatkan pinjaman sebesar £9.000 untuk membayar uang kuliah tahunan, karena diberitahu bahwa untuk mendapatkan pekerjaan diperlukan gelar sarjana (dan kemudian mendapati kenyataan setelah lulus bahwa tidak ada pekerjaan yang tersedia bagi para sarjana baru ini). Namun, pada mahasiswa asing yang mulai kehilangan kepercayaan pada sistem pendidikan Inggris, khususnya program magister satu tahun yang mayoritas mahasiswanya adalah mahasiswa asing.



Universitas-universitas di Inggris mulai khawatir karena para mahasiswa asing membayar biaya kuliah yang lebih mahal dibandingkan dengan mahasiswa lokal, untuk bisa menikmati sistem pendidikan di Inggris. Hal tersebut tampak seperti permasalahan intinya, bukan hanya biaya kuliah yang memang sudah tinggi, melainkan juga meroket dengan cepat dalam kurun waktu lima tahun belakangan, ketika pemerintah menaikkan batas atas biaya yang dapat dikenakan oleh universitas. Meskipun keadaannya juga memburuk bagi mahasiswa lokal, patut diingat bahwa mahasiswa asing yang berasal dari negara-negara persemakmuran dan negara berkembang lain seperti Tiongkok telah lama menjadi sapi perah dari sistem perguruan tinggi di Inggris - membayar mahal bagi kelas-kelas yang tidak persiapkan dengan baik, kurang anggaran hanya demi kebanggaan belajar di Inggris. Mereka bahkan tidak memiliki kemudahan pinjaman biaya kuliah yang dinikmati oleh mahasiswa asal Inggris.

Kenaikan biaya pendidikan akhir-akhir ini bagi mahasiswa lokal dan asing merupakan bagian dari proyek neoliberal yang bertujuan melebur pendidikan ke dalam sistem ekonomi kapitalis yang sebelumnya berhasil ditolak sampai taraf tertentu. Pendidikan di Inggris (dan banyak negara lain) kini dipandang sebagai bisnis belaka daripada sarana pemenuhan kebutuhan intelektual. Fakultas-fakultas yang berfokus pada bidang-bidang yang dianggap bermanfaat secara ekonomi (seperti bisnis, kimia, fisika, dll.) mendapat dukungan anggaran, sementara bidang lain yang dianggap tidak berguna di dunia modern (seperti sastra Inggris, sejarah, filosofi, dll) mengalami pemotongan anggaran. Sementara itu, para mahasiswa dipaksa untuk melihat universitas sebagai 'investasi' yang tersedia bagi mereka yang memiliki uang atau yang bersedia terikat pada utang, yang tentu saja membuat harapan mereka berubah. Tak jarang para dosen bercerita tentang mahasiswa yang menuntut nilai sempurna untuk apa pun yang mereka kumpulkan karena mereka merasa 'telah membayar mahal'.

Yang luput dari catatan surat kabar New York Times adalah kemungkinan bahwa para mahasiswa asing kini semakin sadar bahwa universitas hanya memandang mereka penting dari sisi nilai ekonomi. Harapan, mimpi, dan masa depan para mahasiswa ini dianggap tidak penting. Mereka hanya dipandang sebagai angka-angka pada laporan keuangan, pihak universitas baru  memerhatikan saat para mahasiswa ini tak lagi muncul pada laporan keuangan. Harapannya, semoga turunnya jumlah mahasiswa ini bersumber dari kesadaran bahwa sistem pendidikan Inggris kini tak lebih dari sebuah bisnis yang mengeksploitasi mahasiswa (juga para profesor dan dosen yang digaji murah).

Semoga penurunan jumlah mahasiswa ini akan menjadi langkah pertama dari perubahan pada sistem pendidikan di universitas. Kita harus menganjurkan orang-orang untuk belajar karena kecintaan mereka pada ilmu bukan sekadar melihat segala sesuatu sebagai perhitungan langkah ekonomi atau menganjurkan mahasiswa untuk melihat dunia sebagai kompetisi tak berujung antara diri mereka dan orang ain. Orang-orang yang miskin di seluruh dunia perlu kita bantu untuk dapat mengenyam pendidikan di universitas dan meraih tujuan-tujuan mereka, alih-alih hanya sekadar menambah gemuk rekening milik universitas.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 28.04.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/04/education-economics-or-exploitation.html

universitas-universitas di Inggris, penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa baru, New York Times, program magister, mahasiswa asing